Hujan Mulai Turun tapi Lahan Gambut Tetap Membara, Kenapa?

Hujan Mulai Turun tapi Lahan Gambut Tetap Membara, Kenapa?
  • Hujan mulai turun di Sumatera Selatan akhir September 2019, tapi aktivitas pembakaran lahan tetap terjadi. Terutama di lahan kelola masyarakat.
  • Membakar lahan oleh para petani di Sumatera Selatan merupakan tradisi, sehingga larangan, ancaman penjara, dampak kesehatan, tidak membuat mereka berhenti membakar.
  • Guna mengubah tradisi tersebut pemerintah jangan hanya melarang petani membakar lahan, tapi memberikan dukungan atau bantuan teknologi dan pengetahuan dalam mengelola lahan, terutama terkait pembersihan lahan.
  • Sumatera Selatan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah [Perda] Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Namun perda ini terlihat belum efektif jika dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada 2019 ini.

 

Lima kali hujan deras mengguyur sebagian besar rawa gambut di Sumatera Selatan [Sumsel], akhir September 2019, membuat sebagian gambut yang terbakar padam. Namun tiga hari terakhir, ketika hujan tidak turun, aktivitas pembakaran tetap berlangsung di sejumlah lahan -baik ladang maupun gambut tipis- yang selama ini dijadikan lahan pertanian masyarakat.

Selasa [01/10/2019] sore, kebakaran lahan gambut yang disertai kabut asap terpantau di beberapa titik di areal pertanian dan perkebunan di Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan. Api menghabisi rerumputan dan gambut yang selama ini ditanami padi.

Hingga Rabu [02/10/2019] sore, api di lahan yang berbatasan dengan Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor belum juga padam. Didapatkan informasi sejumlah petugas dari BKSDA Sumsel datang ke lokasi, mereka meminta warga di lokasi segera memadam api dan tidak membakar lahan.

“Jelas sekali mereka tidak peduli dengan larangan membakar lahan. Mereka seakan tidak takut ditangkap apalagi memikirkan dampak kesehatan orang lain terkait kabut asap tersebut,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, yang menyaksikan kejadian tersebut.

 

Lahan gambut yang harus arif pengelolaannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menurut Yusuf, membakar lahan terpaksa dilakukan warga. Sebab, mereka berburu waktu. Jika air sudah menggenangi lahan, mereka tidak dapat lagi menanam padi.

“Dari kasus ini jelas, pemerintah harus membantu teknologi para petani dalam mengelola lahan, terutama di rawa gambut. Petani tidak hanya dilarang membakar. Membakar jelas sekali merupakan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun,” kata Yusuf.

Pelarangan itu, justru membuat petani yang membakar lahannya tidak menjaga api. Mereka takut ditangkap. Sebelum adanya pelarangan, para petani tetap menjaga apinya agar tidak menyebar ke lahan orang lain atau ke perkebunan karet.

“Jika tidak segera dibantu teknologi dan pengetahuan, petani jelas sulit melepaskan diri dari tradisi tersebut. Jika ini terus berlangsung, sama dengan membangun mental pembangkangan atau perlawanan petani terhadap pemerintah,” lanjutnya.

 

Perda Perlindungan Gambut?

Sumatera Selatan merupakan provinsi pelopor lahirnya Peraturan Daerah [Perda] Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Namun efektifkah perda tersebut dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Sumsel pada 2019?

“Saya justru bertanya. Apakah Perda Gambut tersebut mengubah perilaku dan kerja pemerintah? Jika ya, harus dibuktikan dengan alokasi anggaran dan bukti kerja tata administrasi dan tata pemerintahan yang dapat direspon para pihak di lapangan. Termasuk yang saat ini sedang menghadapi kasus hukum,” kata Dr. Edwin Martin, peneliti Balitbang LHK Palembang, kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu.

“Hukum yang baik tidak saja mengatur objek hukum, tetapi seharusnya mengubah perilaku pelaksana atau subjek hukum itu sendiri. Tidak parsial. Ini ibarat protokol di pesawat terbang saat oksigen berkurang, pasanglah masker pada diri sendiri dahulu, setelah itu bantu yang lain,” ujarnya.

“Menurut saya, perda tersebut tidak efektif. Seharusnya perda ini mendorong atau mengusulkan kepada KLHK untuk me-review izin dan pencabutan, terutama izin-izin yang berada di lahan gambut yang 2019 ini kembali terbakar. Saat ini, hanya satu perusahaan yang ditetapkan tersangka di Sumsel. Jangan sampai segel yang dilakukan KLHK sebatas ‘gaya-gayaan’, asap hilang proses pencabutan izin hilang juga,” kata Muhammad Khairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, akhir September 2019.

 

Termasuk pula, lanjut dia, hadirnya izin-izin baru di lahan gambut yang dikeluarkan pemerintah kabupaten, yang seharusnya dapat diintervensi gubernur dan diusulkan ke kementerian untuk dibatalkan karena adanya perda tersebut.

“Walhi Sumsel mendorong pencabutan izin harus dilakukan juga ke korporasi besar yang berada di wilayah gambut dalam. Dalam peraturan, gambut dalam adalah kawasan lindung. Tidak boleh dikelola atau dimanfaatkan,” terang Hairul Sobri.

“Artinya, peruntukan lindung yang ada hanya upaya pemulihan gambut dengan pembasahan dan penanaman tumbuhan endemik,” ujarnya.

Dr. Najib Asmani, mantan Koordinator TRG [Tim Restorasi Gambut] Daerah Sumsel, yang diminta Pemerintah dan DPRD Sumsel menyusun naskah akademik Perda Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, mengatakan semua aturan hukum akan berjalan jika subjek hukumnya menjalankan. “Sebagus apa pun aturan dan hukum, jika tidak ada yang menjalankan ya percuma,” katanya.

“Perda Gambut kita ini bagus, buktinya banyak provinsi lain tengah menyusun perda yang sama. Mereka terinspirasi Sumsel,” tegasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *